PP No.99/2012 untuk selamtkan generasi muda

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Maksud baik pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.99 tahun 2012 untuk melindungi dan menyelamatkan generasi muda pengguna narkoba dari kesalahan penanganan hukuman tidak selalu diterima sesuai keingian karena berbagai interpretasi dan kepentingan.

Kondisi itu muncul ketika kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No.99 tahun 2012 dan Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 dinilai tidak konsisten dan memihak koruptor dan teroris sebagai musuh negara dan masyarakat.

Padahal, tegas Menkumham, alasan kedua aturan tersebut diterbitkan adalah untuk mencegah aturan yang terlalu ketat bagi narapidana anak yang dihukum karena menggunakan narkoba.

"Kedua aturan tersebut sebenarnya untuk menyelamatkan generasi muda pengguna narkoba yang dihukum penjara karena memiliki narkoba, meski mereka bukan pengedar," katanya.

PP No.99/2012 sendiri diberlakukan untuk narapidana yang putusannya berkekuatan hukum tetap sejak 12 November 2012 atau sejak PP tersebut dikeluarkan. "Jadi PP ini tidak berlaku surut," tegas menteri.

Menyusul terbitnya PP tersebut, Menkumham kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 pada 12 Juli 2013 atau sehari setelah kerusuhan LP Tanjung Gusta, Medan 11 Juli 2013.

PP yang menjadi kontroversial tersebut merupakan revisi kedua dari PP No.32 tahun 1999, setelah sebelumnya direvisi melalui PP No.28 tahun 2006.

Karena itu, remisi narapidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebelum 12 November 2012 ditetapkan berdasarkan PP No.28 tahun 2006 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.

"Sepanjang terpenuhi syarat PP No.28 tahun 2006, narapidana yang sudah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap sebelum 12 November 2012 akan mendapat remisi," tambah Amir.

Tak mempermudah
Yang pasti, menurut dia, terbitnya PP No.99 tahun 2012 tidak untuk mempermudah narapidana pelaku tindak pidana terorisme, narkotika, dan "prekursor" narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, serta kejahatan transnasional mendapat remisi karena persyaratannya yang ketat.

Persyaratan itu, antara lain bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana korupsi.

Selain itu, narapidana juga telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada Indonesia secara tertulis atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis.

Dalam pembuatan PP No.99 tahun 2012, kata Amir Syamsudin, arahan dari Presiden juga sangat jelas, yakni buat aturan bagi anak-anak yang terkena narkoba yang tempat sebenarnya tidak di penjara tapi tempatnya di rehabilitasi.

Berdasarkan data Kemenkumham, penghuni LP di seluruh Indonesia saat ini jumlahnya sekitar 162.000 dengan rincian narapidana mencapai 111.089 orang dan sisanya adalah tahanan. Narapidana yang tersangkut masalah narkoba mencapai 54.690 orang, narapidana kasus korupsi 2.498 orang, dan narapidana teroris mencapai 316 orang. Sisanya merupakan narapidana kasus lainnya.

Selain berpegang pada PP No.99 tahun 2012, kata Wakil Menkumham Denny Indrayana, Kementerian dalam memberikan remisi dan pembebasan bersyarat juga berpegang pada Peraturan Menkumham No 6 tahun 2013 tentang tata tertib lembaga pemasyarakatan dan rumah tangga negara.

"Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pelanggaran ringan, sedang dan berat jadi bila berat tidak akan mendapat remisi," kata Denny.

Kontroversial
Namun maksud baik pemerintah tersebut tidak selamanya bisa diterima pihak lain dengan kepala dingin.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara Margarito, menilai penerapan PP No. 99 Tahun 2012 tentang pengetatan remisi yang tidak berlaku surut ini merupakan produk yang inkonsistensi, diskriminatif, dan cenderung arogan.

Tidak konsistennya peraturan hukum yang dhasilkan pemerintah, menurut dia, terlihat dari penerapan Pasal 197 KUHAP khususnya Pasal 197 ayat (1) huruf K yang menjelaskan bila putusan pengadilan tidak memuat perintah penahanan, maka tidak bisa dieksekusi.

Namun, kata Margarito, fakta di lapangan menunjukkan aparat hukum tetap bisa melakukan eksekusi meski tidak ada perintah penahanan.

Dia juga menilai Kemenkumham enggan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 22 November 2012 terkait pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang dimohon Yusril Ihza Mahendra, dengan dalih putusan itu berlaku surut.

Penolakan itu, membuat Kemenkumham tidak bisa membebaskan narapidana yang terlanjur dipenjara karena menjadi korban penerapan pasal 197 huruf k KUHAP.

Padahal, kata Margarito, Ketua MK Akil Mochtar sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut.

Undang-undang MK Pasal 47 juga dengan jelas mencantumkan putusan MK tidak berlaku surut (asas retroaktif) karena bersifat prospektif ke depan (forward looking) dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking).

"Ini membuat harkat dan martabat PP No.99 tahun 2012 dan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menjadi rendah," katanya.

Sementara pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Andi Hamzah juga mengatakan putusan MK lebih kuat ketimbang Peraturan Pemerintah, sehingga seharusnya putusan MK dijalankan terlebih dulu.

Mengenai tidak dijalankannya putusan MK, Andi mengaku penerapan hukum di Indonesia memang sudah salah kaprah dan kacau. Penerapan hukum juga tidak sesuai dengan standar internasional, katanya.

Sementara itu, pandangan sebaliknya terhadap keberadaan PP No.99 tahun 2012 muncul dari koalisi masyarakat sipil yang menilai penghapusan aturan ini kontra produktif karena membantu mempercepat bebasnya koruptor dari hukuman penjara. Padahal, tindakan mereka sangat merugikan negara dan masyarakat.

Apalagi, dukungan penghapusan ini justru difasilitasi anggota DPR Priyo Budi Santoso. Langkah Priyo itu juga dinilai kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi.

Saat masyarakat, lembaga penegak hukum, dan pemerintah berupaya melawan koruptor, tindakan Priyo memfasilitasi penghapusan PP No.99 tahun 2012 dapat dikategorikan sebagai dukungan terhadap koruptor.

Politisi Partai Golkar itu, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, harusnya memfasilitasi kepentingan jutaan rakyat Indonesia agar koruptor dihukum seberat beratnya dan tidak mendapatkan perlakukan khusus atau istimewa selama di penjara.

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden dan Mahkamah Agung untuk menolak permintaan pencabutan PP No.99 tahun 2012 tersebut. Selain itu, mereka juga mendesak agar pimpinan DPR/MPR untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Sementara narapidana yang merasa kepentingannya terusik dengan terbitnya PP ini menuntut agar aturan tersebut dihapus.

Indra Pane, wakil tahanan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan saat bertemu Menkumham menuntut penghapusan PP tersebut karena merampas hak dan kemerdekaan narapidana.

Menurut wakil narapidana lainnya Marwan alias Wakgeng tuntutan penghapusan PP No.99 tahun 2012 tersebut merupakan pemicu utama kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Medan.

Terhadap berbagai tuntutan itu, Menkumham menegaskan bahwa tidak ada dispensasi apapun. Hukuman terhadap narapidana yang telah memiliki kekuatan hukum sebelum 12 November 2012 tetap tidak berubah setelah diterapkannya PP tersebut.

Karena itu, katanya, "Jangan salah artikan kebijakan saya."

Dengan jawaban tersebut, Menkumham membantah surat edaran terkait PP No.99 tahun 2012 tersebut terkait dengan pengajuan keberatan sembilan narapidana yang meminta perlindungan Wakil Ketua KPK Priyo Budisantoso yaitu Hari Sabarno, Agusrin M Najamuddin, Wijanarko Puspoyo, Soetejo Yuwono, Muchtar Muhammad, Jumanto, Abdul Syukur Gany, Haposan Hutagalung dan Abdul Hamid.

Menteri juga menyatakan kesiapannya untuk tampil habis-habisan terkait uji materi yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.

Seperti kebijakan lainnya, munculnya perdebatan menyangkut produk hukum memang sulit dihindari. Namun, keteguhan pemerintah tetap diharapkan rakyat untuk menciptakan kepastian hukum bahwa mereka yang terlibat korupsi, pelanggaran HAM berat dan terorisme tetap harus menerima hukuman setimpal sesuai perbuatannya.

Sementara itu, generasi muda yang terjerumus penggunaan narkoba dan tidak terlibat dalam jaringan transnasional obat-obatan terlarang atau menjadi penyalur dan pedagang narkoba tidak selayaknya dihukum seperti layaknya terpidana kasus lain.(rr)

19 Jul, 2013


-
Source: http://sumsel.antaranews.com/berita/276799/pp-no992012-untuk-selamtkan-generasi-muda
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

0 comments: